Kesadaran manusia terhadap eksistensinya sering kali dimulai ketika berbagai pertanyaan tentang kehidupan mulai muncul. Hal ini sejalan dengan gagasan filsuf terkenal René Descartes, yang menyatakan bahwa kemampuan kita untuk mempertanyakan keraguan menjadi bukti keberadaan kita. Pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan ini biasanya mencapai puncaknya pada fase Quarter Life Crisis, yang menurut Erik Erikson adalah masa kritis ketika seseorang mulai mempertanyakan tujuan hidup dan masa depan. Bagaimana eksistensialisme, sebagai cabang filsafat yang berfokus pada kebebasan dan makna hidup, dapat membantu kita menjawab berbagai pertanyaan ini?
Eksistensialisme: Filsafat Kebebasan dan Makna Hidup
Eksistensialisme adalah cabang filsafat yang meneliti kebebasan manusia, makna hidup, dan relasi kita dengan dunia. Pemikiran eksistensialis muncul dari pengalaman hidup sehari-hari, bukan hanya dari pembelajaran akademis. Filsuf eksistensialis seperti Søren Kierkegaard, Martin Heidegger, dan Jean-Paul Sartre menggali pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang eksistensi manusia. Pertanyaan-pertanyaan ini, seperti “Siapa diriku sebenarnya?” dan “Apa tujuan hidupku?” sering kali muncul saat seseorang mengalami krisis eksistensial, seperti saat berada dalam fase Quarter Life Crisis.
Quarter Life Crisis dan Eksistensialisme
Fase Quarter Life Crisis adalah masa ketika seseorang mulai mempertanyakan nilai-nilai hidup, kebebasan, dan makna keberadaannya. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul selama fase ini mencerminkan kegelisahan eksistensial yang telah lama dipikirkan oleh para filsuf eksistensialis. Misalnya, Martin Heidegger dalam karyanya Being and Time (1927) berbicara tentang menghadapi kematian dan kebebasan. Heidegger menekankan bahwa dengan menghadapi kematian secara jujur, kita bisa mencapai kebebasan untuk menjadi diri kita yang sebenarnya.
Jean-Paul Sartre, melalui karyanya Being and Nothingness (1943), juga membahas bagaimana manusia “dikutuk untuk bebas.” Kebebasan ini, meski memberikan kita kendali atas hidup, juga menciptakan tekanan karena kita harus membuat keputusan yang sulit. Dari Sartre, kita dapat belajar bahwa kebebasan adalah bagian tak terpisahkan dari eksistensi manusia, tetapi juga bisa menjadi sumber kecemasan.
Menghadapi Krisis Hidup dengan Eksistensialisme
Filsuf eksistensialis lainnya, seperti Emmanuel Levinas, juga mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan eksistensial. Dalam Totality and Infinity (1963), Levinas membahas mengapa manusia mampu bertahan dalam situasi yang tidak disukainya. Menurut Levinas, manusia memiliki kemampuan untuk menemukan makna dalam hal-hal yang tampak tak berguna demi mempertahankan hidupnya.
Simone de Beauvoir, salah satu tokoh perempuan dalam filsafat eksistensialisme, juga memberikan pandangan menarik tentang bagaimana menjadi diri sendiri. Dalam karyanya Phyrrhus and Cineas (1944), Beauvoir menekankan bahwa kita memiliki kekuatan untuk mengubah keadaan hidup, meskipun terbatas oleh orang lain. Pertanyaan seperti “Bagaimana aku bisa menjadi diriku sendiri?” dan “Apa yang disebut sebagai tindakan etis?” sering muncul selama fase krisis kehidupan.
Albert Camus, melalui Mitos Sisifus (1942), menggambarkan absurditas hidup. Menurut Camus, kebahagiaan yang terus berulang bisa kehilangan maknanya seiring waktu. Siklus kesedihan, usaha, dan kebahagiaan akan selalu berulang dalam kehidupan manusia. Namun, dari absurditas ini, kita dapat menemukan makna dan tujuan hidup yang lebih dalam.
Eksistensialisme sebagai Panduan Menghadapi Quarter Life Crisis
Krisis eksistensial, terutama selama fase Quarter Life Crisis, adalah bagian wajar dari kehidupan yang tidak perlu ditakuti. Semakin kita mempertanyakan hidup, semakin banyak kita bisa memahami diri sendiri dan dunia di sekitar kita. Dengan belajar dari pemikiran para filsuf eksistensialis, kita bisa menghadapi kegelisahan dan kebingungan ini dengan lebih baik. Salah satu caranya adalah dengan terus mempertahankan pertanyaan-pertanyaan yang muncul, memetakan masalah, dan mencari solusi yang rasional.
Krisis eksistensial memberikan kesempatan bagi kita untuk tumbuh dan berkembang, menjadi lebih dewasa dalam mengambil keputusan, serta menjadi seorang filsuf bagi diri kita sendiri. Sebagaimana yang diajarkan oleh eksistensialisme, hidup adalah proses yang penuh dengan tantangan, tetapi juga penuh dengan makna yang bisa kita ciptakan sendiri.
Leave a Reply